Thursday, November 10, 2016

Kumandang Pidato Tengah Malam

"Kisah-kisah menegangkan semalam sebelum Perang Surabaya berkecamuk"


Saat ini, 70 tahun yang lalu, kedaulatan Indonesia sempat terganggu akibat para penjajah yang ingin kembali menguasai negeri ini. Surabaya yang ketika itu sedang diduduki Inggris sedang mengalami masa-masa genting yang kini diabadikan dalam peringatan Hari Pahlawan Nasional. Namun postingan kali ini ts tidak membahas terlalu banyak tentang peristiwa saat 10 November namun akan lebih rinci menceritakan tentang detik-detik menegangkan usaha pihak Indonesia agar tidak terjadi perang sebelum peristiwa itu terjadi sesuai dengan sumber refrensi yang ts temukan.

 
7 November 1945 beberapa hari setelah kematian Jenderal A.W.S Mallaby, Gubernur Soerjo diundang oleh pihak Inggris yang mewakili sekutu, Mayor Jenderal Robert Mansergh yang menggantikan posisi Jenderal Mallaby saat itu. Di sana mereka membahas tentang keadaan Surabaya dan tuduhan Inggris tentang kekacauan yang dibuat oleh pihak Indonesia. Perang antar argumen yang menuntut untuk tetap menjaga kesopanan dan kewibawaan agar untuk tetap menahan emosi membuat ruangan tersebut menjadi tegang. Namun pada akhirnya perundingan itu tak menghasilkan apa-apa.

Perundingan tersebut pun dilanjutkan melalui surat-menyurat yang tak kalah membuat kepala terasa panas membacanya. Dalam tulisan-tulisan surat yang menegangkan itu Gubernur Soerjo tetap berusaha untuk menjaga perdamaian dengan menyelesaikan semua masalah yang terjadi secara baik-baik dan meluruskan kesalahpahaman yang terjadi antara dua belah pihak. Namun karena rasa gengsi Jenderal Mansergh permasalahan ini pun memuncak, ditandai dengan surat yang berisikan dua dokumen darinya tentang ultimatum yang mengancam.

Pagi hari, 9 November 1945, pesawat inggris berseliweran di dirgantara Surabaya menyebarkan pamflet-pamflet yang akhirnya diterjemahkan oleh seorang guru bahasa Inggris, Soetrisno, agar bisa di baca oleh seluruh rakyat Surabaya. Isinya adalah ultimatum beserta beberapa instruksi  yang diantaranya adalah agar rakyat Surabaya segera menyerah tanpa syarat dan melucuti senjatanya di lokasi yang sudah di tentukan mulai hari itu juga 9 November 1945 pukul 18.00, selambat-lambatnya perintah itu sudah dilaksanakan esok hari jam enam pagi atau pertumpahan darah tak dapat terelakkan. Setelah mengetahui isi pamflet yang benar-benar telah menghina kedaulatan Indonesia itu, seisi Surabaya pun langsung gempar dan menolak ultimatum itu mentah-mentah dan memilih untuk berjuang sampai mati daripada jadi budak para penjajah lagi.

Dengan gelisah Gubernur Soerjo tak henti-hentinya membaca lembaran lusuh surat yang ada di tangannya berisikan ultimatum tersebut yang meskipun di baca berkali kali pun isinya tak akan berubah. Beliau dengan Residen Soedirman, Doel Arnowo, T.D Kundan dan orang-orang kepercayaannya yang lain sedang berusaha menghubungi Jakarta perihal mendesak ini.  Pukul 19.30 mereka akhirnya berhasil terhubung dengan pusat melalui hubungan interlokal, Doel Arnowo yang berbicara melalui telepon dan di angkat oleh Bung Karno sendiri.

Awal pembuka dari percakapan itu di mulai dengan saling menanyakan kabar lalu di lanjutkan dengan percakapan serius tentang ultimatum Mayjen Masergh. Ternyata pemerintah pusat telah mengetahui perihal tersebut dan telah mengirim Menlu Mr. Ahmad Soebardjo supaya menemui Letjen Sir Philip Christison pimpinan tertinggi tentara Inggris yang ada di Jakarta. Bung Karno mengharapkan agar tidak terjadi pertumpahan darah seperti beberapa waktu lalu di Surabaya. Setelah semuanya disampaikan sambungan itu pun di putus.

Pukul 20.00 Jakarta belum memberi kabar apa pun. Akhirnya pada pukul 21.00 Gubernur Soerjo menyiarkan pidato nya melalui radio agar rakyat Surabaya tetap tenang dan tidak melakukan tindakan provokasi, karena pihak Indonesia  tidak merasa sedang berperang dan tidak menginginkan pertempuran. Rakyat juga dihimbau agar tetap menunggu keterangan dari siaran radio lebih lanjut. Sekitar satu jam setelah pidato tersebut disiarkan Doel Arnowo akhirnya berhasil mengontak Jakarta yang diangkat langsung oleh Menlu Mr. Ahmad Soebardjo.

"Mohon maaf Pak Doel Arnowo, kita tidak berhasil mengubah pendirian pimpinan tentara Inggris. Mereka tetap akan menggunakan kekerasan, apabila sampai besok pagi kita tidak mau menyerah," Ahmad Sobardjo berhenti sejenak. "Selanjutnya Pemerintah Pusat di Jakarta menyerahkan segalanya pada Pemerintah Jawa Timur di Surabaya" Seperti itu lah kira-kira yang Mr. Soebardjo katakan dikutip dari buku Pidato Tengah Malam. Secara tersirat kalimat terakhir yang Mr. Soebardjo katakan pada Doel Arnowo adalah, bila Surabaya mampu untuk melawan maka itu terserah dan pimpinan pusat tidak akan menyalahkan Surabaya.

Malam itu juga diadakan rapat kilat dan segera ketika itu pula tengah malam pukul 23.00 suara dari Gubernur Soerjo terdengar lagi di radio dalam sebuah pidato yang bergema menggetarkan dan meneguhkan hati setiap pejuang. Isi pidato tersebut adalah, bahwa seluruh usaha yang dilakukan untuk berunding dengan pihak Inggris telah berakhir dengan kegagalan, sehingga semua keputusan dan segala hal yang terjadi kini sepenuhnya di serahkan kepada Surabaya dan pemerintah pusat tidak akan ikut campur dalam urusan ini. Gubernur Soerjo dengan tegas menyatakan bahwa lebih baik hancur daripada terjajah kembali dan juga menyerukan agar seluruh kekuatan yang ada untuk bersiap menghadapi segala kemungkinan yang terjadi besok pagi.
  
Beberapa jam setelah pidato itu di kumandangkan, pesawat Inggris menderu-deru di langit Surabaya menjatuhkan bom-bom yang di bawanya sementara kapal-kapal perang Inggris yang sudah bersiaga di perairan Surabaya memuntahkan peluru meriamnya, ultimatum Jenderal Mansergh mulai dilaksanakan, menghancur leburkan bangunan-bangunan di Surabaya hanya dalam hitungan jam saja. Sementara itu para pejuang mulai melaksanakan strateginya untuk menyerang. Peperangan yang akan berlangsung selama tiga minggu itu pun menandai di mulainya kisah heroik 10 November di Surabaya. Salah satu perang yang paling hebat dan berdarah dalam sejarah Revolusi Nasional Indonesia.

Sumber :
Buku Pidato Tengah Malam Oleh: Dukut Imam Widodo





Postingan Tanggal | 0 Komentar

0 ini komentar ya ?:

Post a Comment